Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Suara Rindu Ibu di Balik Telepon

 Ahmad Suherdi

Asrama Sunan Kalijaga Ngunut

Merantau bukanlah sebuah keinginan. Karena dengan merantau pastinya akan mengharuskan untuk mandiri dan jauh dari orangtua. Hal semacam itu apakah akan nyaman dalam menjalani hidup setiap harinya? Mungkin kurang nyaman karena mau makan saja harus masak sendiri atau beli di warung. 

Ini adalah sebuah kisah seorang pemuda yang rela merantau di pulau seberang (Jawa) demi meraih cita-citanya. Dia berasal dari pulau Sumatera Selatan, tepatnya Kota Palembang. Hal itu dia lakukan karena masih luas sekali bumi Indonesia yang belum dia datangi. Maka dari itu dia mulai memberanikan diri untuk merantau.

Merantau bagi dia bukanlah suatu keinginan. Akan tetapi, pengetahuan ilmu pada zaman milenial ini, haruslah dia dapatkan sebanyak-banyaknya. Jika tidak bertekat kuat menambah pengetahuan ilmu, tentu akan banyak sekali ketinggalan informasi. Lebih-lebih jaman milenial mengharuskan untuk lebih paham menggunakan teknologi sebagai saran mencari dan mendapatkan informasi.

Setelah keputusan itu, dia meminta izin kepada kedua orangtuanya, bahwa dia ingin merantau ke Pulau Jawa untuk mencari Ilmu. Tujuan dari pemuda itu adalah di salah satu pondok pesantren yang berada di Tulungagung Jawa Timur. Awalnya masih ragu untuk jauh dari orangtua, namun hal itu dia hilangkan agar bisa mencari ilmu dan meraih cita-cita. 

Awal sampai lingkungan pondok dia merasakan sebuah hal yang tidak nyaman baginya. Hal itu karena kehidupan pesantren 180 derajat sangat berbeda dari kehidupan sewaktu di rumah. Selama dua minggu dia merasakan rindu akan sosok ibunya. Dia manangis, tidak nafsu makan, dan hal tak mengenakkan lainnya.

Namun, salah seorang pemuda lain yang umurnya lebih tua darinya (kakak kandungnya) memberikan motivasi kepadanya. Motivasi itu menggambarkan perjuangan kakaknya sewaktu awal-awal merantau di Jawa. Kakaknya kemudian menceritakan tentang rasa tidak betah, dan rindu ibu saat awal mondok. Akan tetapi lama-kelamaan setelah mendapatkan banyak teman, perasaan itu telah hilang dan menjadi betah hidup di pondok.

Dari motivasi kakaknya tersebut, menjadikan dia berusaha untuk memantapkan tekat dan yakin di dalam hatinya, bahwa dia pasti bisa melewati masa-masa sulit awal mondok. Dia mulai mencari teman dan berinteraksi dengan teman-temannya. Lalu lama kelamaan sang kakak memberikan buku motivasi tentang cerita para kyai dalam mencari ilmu. Dengan demikian, menjadikannya semakin termotivasi dan kuat menjalani hidup merantau dalam mencari ilmu di pondok.

Sebulan kemudian, dia menelpon ibunya. Rasa rindu benar-benar sudah tidak terbendung lagi rupanya. Iya, jarak dia dengan ibunya sangatlah jauh dan melalui telepon inilah yang dapat menjadikannya lebih dekat walau dengan suara ibu di balik telepon.

Obrolannya semakin asyik, hingga tidak terasa sudah bermenit-menit bahkan hampir satu jam. Waktu semakin sore dan handphone harus dikembalikan kepada sang kakak. Kemudian sang kakak pamit untuk kembali ke lokasi pondoknya. Memang sang kakak ini mondok, namun berbeda tempat dengan dia sang adik.

Akhir pertemuan, sang kakak memberikan motivasi agar betah di pondok. Harus kuat dan jangan lemah. Jangan iri dengan teman-teman yang lain yang setiap sambang orang tua mereka selalu hadir. Jadilah dirimu sendiri dan bismillah pasti bisa. "Ucap kata dari sang kakak dengan penuh keyakinan. Kemudian sang kakak pulang dan dia kembali ke dalam lingkungan pondok. Selesai.

Sang adik = erik
Sang Kakak = penulis sendiri



Tulungagung, 02 Oktober 2020.

4 komentar untuk "Suara Rindu Ibu di Balik Telepon"